Hutan Rakyat – Pengertian, Status, Tujuan, Faedah & Pengelolaan


Dalam peraturan perundangan negara Indonesia, sesungguhnya tidak ada secara tegas yang menyebutkan adanya hutan rakyat. Namun, perumpamaan ini mengacu pada undang-undang tahun 1967, yaitu hutan milik, serta undang-undang tahun 1999 yakni hutan hak.





Pada undang-undang kehutanan terdahulu hingga ketika ini, mulai dari UU No. 5 tahun 1957 sampai UU No 41 tahun 1999, tidak ada ungkapan tentang hutan rakyat.





Lalu, apa arti hutan rakyat?






Pengertian Hutan Rakyat





Hutan rakyat yakni hutan-hutan yang dibangun dan dikontrol oleh rakyat. Keberadaan hutan ini lazimnya berada di tanah etika, meskipun ada juga hutan yang dikelola rakyat berada di tanah negara atau daerah hutan negara.





Meski dalam peraturan perundangan tidak secara tegas disebutkan adanya hutan rakyat, namun pengertiannya terdapat dalam Keputusan Menteri Kehutanan No 49 Tahun 1997, adalah hutan rakyat yaitu hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 hektar, penutupan tajuk tumbuhan berkayu dan atau jenis lain yang melampaui 50% atau jumlah tumbuhan pada tahun pertama sekurang-kurangnya500 tanaman per hektar.





Hutan rakyat menjadi cita-cita bagi kelestarian hutan kebanyakan. Kita dapat mengambil acuan kondisi kerusakan hutan di Pulau Jawa balasan deforestarsi yang membutuhkan reforestasi agar kembali sesuai peruntukkannya. Reforestasi mampu terbantu oleh adanya hutan-hutan pada lahan yang diatur oleh rakyat.





Kelompok Hutan Rakyat





Karena tidak ada pengertian secara niscaya, maka pemahamannya harus menimbang-nimbang kondisi dan kondisi setempat. Berikut ini ialah pengelompokkan hutan milik rakyat menurut status tanahnya:





  • Hutan milik adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak atas tanah, mirip hak milik, hak guna perjuangan dan hak guna pakai. Hutan jenis ini banyak didapatkan di pulau Jawa.
  • Hutan adat yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah adat atau tanah kolektif / kelompok atau tanah desa. Hutan jenis ini lazimnya diatur secara berkelompok untuk manfaat masyarakat luas.
  • Hutan kemasyarakatan yakni hutan yang berkembang di atas tanah negara. Hutan ini terbentuk dari program pemberdayaan penduduk yang dilakukan oleh pemerintah. Kelompok masyarakat atau koperasi masyarakat lokal biasanya ialah pengurus hutan jenis ini.
  • Bentuk-bentuk lain dari hutan rakyat, antara lain Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), kemitraan antara perusahaan (pemegang HPH, HPHTI) dengan masyarakat, dan sebagainya.




Ciri Hutan Rakyat





Kerancuan penyebutan hutan hak / milik / rakyat dengan lahan pertanian atau pekarangan sering kali terjadi. Untuk memperjelas suatu lahan ialah hutan rakyat atau tidak, berikut yakni ciri-cirinya.





contoh agroforestri




Menurut Djuwadi (2002), ciri-ciri hutan rakyat yaitu:





  1. Tidak cuma menghasilkan kayu, namun juga berupa bunga, buah, kulit, daun, rimpang, aroma, jamu-jamuan, rempah-rempahan, bumbu, hijauan masakan ternak, jamur dan sebagainya.
  2. Pemanfaatan kayu dikerjakan dengan babat pilih atau tebang butuh dan sedikit tebas habis.
  3. Permudaan dikerjakan secara buatan, vegetatif, dan alami.
  4. Luasnya relatif kecil 0,2 sampai 1,0 hektar tergantung status kepemilikannya. Jika dimiliki oleh suatu kelompok, maka luasnya dapat mencapai 20 hektar atau lebih.
  5. Pola tanam gabungan dan terdiri dari berbagai jenis pohon, tanaman pangan atau rumput, serta jarang berbentukhutan monokultur.
  6. Pengelolaan hutan bergantung terhadap pemiliki lahan.
  7. Selain untuk kebutuhan pemiliknya, hutan ini juga berfungsi sosial secara terbatas sesuai dengan nilai budaya setempat.
  8. Perubahan yang lambat menurut nilai budaya atau kebiasaan penduduk lokal.
  9. Hasil hutan tidak selalu bersifat musiman, tetapi dapat bersifat bulanan, mingguan bahkan harian.




Pendapat berlawanan dikemukakan oleh Setia Zain (1997), adalah:





  1. Berupa hutan yang diusahakan sendiri, bersama orang lain atau tubuh hukum.
  2. Berada diatas tanah milik atau hak orang lain berdasarkan hukum perundang-seruan.
  3. Status kepemilikian menurut penetapan Menteri Kehutanan.




Klasifikasi





Berdasarkan jenis tumbuhan yang berkembang, maka hutan ini diklasifikasikan menjadi 3 jenis, ialah hutan rakyat murni, adonan dan agroforestri.





Hutan rakyat murni adalah hutan homogen atau monokultur yang cuma terdiri dari satu jenis pohon. Hutan rakyat adonan atau polyculture yakni hutan yang ditanami berbagai jenis pohon secara adonan.





Sedangkan, agroforestry ialah hutan rakyat yang berupa metode budidaya flora kehutanan bersama dengan tumbuhan pertanian / peternakan. Tanaman kehutanan yang dimaksud yakni flora pepohonan, sedangkan flora pertanian berhubungan dengan tanaman semusim.





Sistem Pengusahaan Hutan Rakyat





Menurut Bertalanffy (1975), tata cara perjuangan hutan rakyat terdiri dari sub tata cara buatan, pembuatan, penjualan hasil, dan kelembagaan. Penjelasan satu per satu dari sub tata cara perjuangan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:





  • Sub metode buatan mencakup sistem budidaya mutu hasil dan kelestarian. Umumnya sistem ini telah berlangsung dengan sendirinya, seperti pemanfaatan lahan kosong untuk sarana pertanian, perkebunan dan peternakan.
  • Sub metode pengolahaan berhubungan dengan keperluan materi baku, baik dari segi jumlah, jenis dan lokasi flora yang hendak dikontrol. Biasanya para pemiliki lahan tidak terlalu menimbang-nimbang pengelolaan ini, alasannya sebagian besar lahan yang dipakai dianggap sebagai investasi jangka panjang.
  • Sub tata cara penjualan hasil yaitu sub tata cara yang sering terlupakan oleh pemilik atau pengurus. Sub sistem ini berhubungan dengan harga produk, struktur pasar, dan sikap pasar. Kemajuan hutan rakyat di Indonesia ditentukan oleh sub metode penjualan ini. Jika diatur dengan baik, maka penjualan yang memakai lisensi legalitas kayu selaku hasil dari hutan rakyat akan memperlihatkan kesejahteraan bagi pemiliki atau pengelola.
  • Sub tata cara kelembagaan merupakan pengatur sub sistem lain agar berjalan dengan maksimal. Adanya kelembagaan juga mendukung prinsip pengelolaan hutan lestari (lingkungan, sosial dan ekonomi) sehingga mampu meningkat pemasukan lewat komoditi lahan hutan.




Tujuan Hutan Rakyat





Menurut Soemitro (1985), tujuan adanya hutan rakyat, antara lain:





  1. Memanfaatkan secara optimal dan lestari lahan yang tidak produktif dan atau yang produktif alasannya keadaan lapangan dan tanah tidak cocok untuk penanaman tanaman pangan.
  2. Untuk memenuhi keperluan masyarakat, terutama petani akan kebutuhan kayu, baik kayu bakar maupun kayu perkakas serta jenis hasil hutan lainnya.
  3. Untuk meningkatkan pemasukan masyarakat petani sekaligus memajukan kesejahteraannya.
  4. Untuk memperbaiki tata air dan lingkungan, khususnya lahan yang ada di daerah pinjaman kawasan fatwa air.




Manfaat dan Keuntungan





Berbagai laba dan faedah ddapat diperoleh dari hutan yang dikontrol secara bareng , baik material maupun immaterial, antara lain:





  1. Keuntungan ekologis, berupa pemanfaatan sumber daya alam lebih efisien.
  2. Keuntungan ekonomi, berupa keragaman hayati dan peningkatan volume buatan.
  3. Keuntungan psikologis, berupa pergantian cara buatan tradisional yang lebih gampang diterima daripada metode perjuangan tani monokultur.
  4. Keuntungan politis, yaitu pelayanan sosial yang bagus kepada masyarakat sekaligus selaku keselamatan hutan negara dan penyerobotan lahan.




agroforestri tanaman




Selain itu, berdasarkan Simon (1994) terdapat enam faedah dari hutan rakyat, ialah:





  1. Meningkatkan bikinan kayu dan hasil hutan non kayu.
  2. Meningkatkan kesempatan atau potensi kerja dan saluran pedesaan.
  3. Memperbaiki sistem tata air, serta memajukan perlindungan permukaan tanah dari gangguan erosi.
  4. Meningkatkan proses absorpsi karbondioksida dan polutan lain.
  5. Menjaga kadar oksigen lewat proses fotosintesis.
  6. Sebagai habitat untuk satwa.




Sedangkan menurut Djuwadi (2002), manfaatnya antara lain:





  1. Produsen kuliner suplemen seperti sayur mayur.
  2. Produsen obat-obatan tradisional, bumbu dan produksi lainnya yang berhubungan dengan nilai budaya setempat.
  3. Menghasilkan kayu, berupa kayu lunak hingga kayu mewah untuk konstruksi bangunan atau alat rumah tangga.
  4. Menghasilkan kayu bakar tergolong arang.
  5. Produsen bumbu dan materi baku untuk kebutuhan rumah tangga, tikar, anyam-anyaman dan kerajinan / ukiran.
  6. Menghasilkan hijauan kuliner ternak, termasuk pupuk hijau dan kompos.
  7. Menghasilkan daging, ikan, telur dan lain-yang lain.
  8. Berperan sebegai penyeimbang lingkungan, fungsi rekreasi, serta pendidikan lingkungan.




Perkembangan Hutan Rakyat





Keberadaan hutan rakyat kerap kali diabaikan oleh negara. Negara lebih fokus kepada hutan-hutan alam yang diatur dalam bentuk hak pengusahaan hutan. Akan tetapi, dikala ini hutan milik rakyat mulai diamati alasannya adalah pengelolaannya lebih lestari.





Pada periode pemerintahan Belanda sekitar tahun 1930, program pengelolaan hutan oleh rakyat bantu-membantu telah dikembangkan. Hal ini dapat dilihat di tempat pedesaan yang banyak didapatkan pekarangan warga ditanami dengan flora keras untuk dipanen kayunya.





Kemudian pada kala sehabis kemerdekaan, pemerintah Indonesia pada tahun 1950an menyelenggarakan acara Karang Kitri. Karang Kitri yakni program penanaman tanaman keras untuk lahan-lahan kritis, mirip di lereng curang, lahan sekitar mata air, dan lahan yang tidak ditanami tanaman semusim.





Selanjutnya di tahun 1960an, pemerintah juga mengadakan program penghijauan dengan tujuan yang sama, yaitu untuk meningkatkan produktivitas lahan kritis, mengorganisir tata air dan menyediahan bahan baku kayu dan non kayu bagi penduduk .





Kendala Pengelolaan





Pengelolaan hutan rakyat terhambat oleh banyak sekali kendala, mirip:





  1. Pemenuhan keperluan dasar
  2. Hak kepemilikan
  3. Terbatasnya modal
  4. Terbatasnya isu
  5. Daur tanaman yang lama




Selain itu, pengelolaan hutan yang dijalankan oleh masyarakat lazimnya bersifat holistik. Maksudnya, pengelolaan dijalankan dengan tidak memisahkan hutan dengan sumber daya lainnya.





Hutan yang dikontrol oleh penduduk tidak sepenuhnya bergantung pada formalitas aturan. Sebab, pengelolaan hutan dijalankan lewat tradisi dan dilaksanakan secara informal menurut wawasan kearifan setempat.





Pengelolaan dengan tata cara sosial ini mampu menopang keberadaan hutan rakyat dan sumber daya alam disekitarnya, meskipun sebagian besar belum menemukan legalisasi oleh negara.





Selanjutnya, negara hadir menenteng imbas kepada alur pranata dan norma yang telah ada. Hukum faktual menjinjing pergeseran dalam merekonstruksi kekerabatan penduduk dengan alam, atau memisahkan manusia dengan hutan melalui peraturan-peraturan yang ada.


Belum ada Komentar untuk "Hutan Rakyat – Pengertian, Status, Tujuan, Faedah & Pengelolaan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel