Suku Bugis – Asal, Sejarah, Perkembangan, Budaya, Bahasa & Kesenian


Suku Bugis yaitu golongan etnis yang menempati wilayah Sulawesi Selatan. Selain penduduk orisinil Sulawesi Selatan, pendatang dari Melayu dan Minangkabau yang merantau ke wilayah ini sejak kurun ke-15 juga dikategorikan masuk ke dalam kelompok etnis Suku Bugis.





Selain Sulawesi Selatan, orang Bugis juga tersebar di beberapa kawasan lain, antara lain Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Papua, Jambi, Riau, Kepulauan Riau, dan DKI Jakarta.





Suku Bugis memiliki jiwa merantau. Selain merantau ke kawasan lain di dalam negeri, banyak dari mereka juga merantau ke negara lain, contohnya Malaysia dan Singapura. Suku Bugis yang merantau tersebut lalu menetap dan beranak pinak di negara tujuan.






Asal Usul Suku Bugis





Nenek Moyang Suku Bugis berasal dari suku Melayu Deutero atau Melayu Muda. Kelompok etnis ini masuk ke tanah air melalui daratan Asia, yakni semenanjung Yunan.





Nama Bugis berasal dari kata To Ugi yang mempunyai arti orang Bugis. “Ugi” merujuk pada raja pertama dari Kerajaan Cina yang ada di Pammana, Kabupaten Wajo. Raja tersebut berjulukan La Sattumpugi.





Orang Bugis mempunyai kecenderungan menamakan diri mereka menurut nama pemimpin mereka. Oleh alasannya adalah itu terbentuklah kata To Ugi yang bermakna pengikut Raja La Sattumpugi.





Raja La Sattumpugi memiliki keturunan berjulukan La Galigo. Ia ialah seorang penulis dengan karya sastra besar di dunia, jumlahnya lebih dari 9.000 halaman. Karya yang populer antara lain Sawerigading Opunna Ware, artinya Yang Dipertuan di Ware. Karya ini berisi ihwal tradisi penduduk Bugis.





Perkembangan Suku Bugis





Kelompok etnis Bugis mengalami pertumbuhan dan membentuk beberapa kerajaan. Beberapa kerajaan pada era Bugis klasik diantaranya yakni Kerajaan Bone, Wajo, Luwu, Suppa, Sopoeng, Sawitto, Sidenreng, dan Rappang. Kelompok penduduk ini membentuk bahasa beserta aksaranya, kebudayaan dan pemerintahan berdikari.





Sejarah Kerajaan Suku Bugis





Kerajaan tertua di Sulawesi Selatan adalah Kedatuan Luwu. Kerajaan ini menjadi asal dari kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan yang lalu menjadi kerajaan-kerajaan besar, mirip Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa. Selain 2 kerajaan besar tersebut, ada pula Kerajaan Mandar, Rappang, Sidenreng, Wajo, dan Soppeng.





suku bugis




Secara ekonomi, Kerajaan Luwu sungguh kaya. Hal ini alasannya adalah mereka melaksanakan industri peleburan bijih besi yang lalu dibawa ke Malangke dataran pantai tengah. Di Malangke, besi tersebut diproses menjadi senjata dan alat pertanian yang kemudian diekspor ke dataran rendah di daerah selatan yang menciptakan beras.





Industri peleburan bijih besi tersebut menciptakan Kerajaan Luwu menjadi kaya. Di kala ke-14, Luwu sudah menjadi kerajaan yang ditakuti, khususnya di bagian selatan semenanjung barat daya dan tenggara.





Kekuasaan Luwu mulai memudar pada periode ke-16. Hal ini disebabkan sebab kekuatan kerajaan agraris di selatan yang meningkat. Pada kurun ke-19, Kerajaan Luwu juga tergolong negara kecil.





– Masuknya Islam ke Bugis





Islam masuk ke dalam penduduk Suku Bugis pada periode ke-17. Saat itu tiba penyiar agama Islam yang berasal dari Minangkabau. Ia diutus oleh Sultan Iskandar Muda dari Aceh untuk menyebarkan agama Islam di Sulawesi.





Para penyiar agama Islam ini adalah Abdul Makmur atau Datuk ri Bandang yang berhasil mengislamkan kawasan Gowa dan Tallo. Kemudian ada Suleiman atau Datuk Patimang yang berbagi agama Islam di Luwu. Selanjutnya yang terakhir yakni Nurdin Ariyani atau Datuk ri Tiro yang memberitakan agama Islam di Bulukumba.





Ketiganya mengemban peran yang sulit di tengah penduduk Sulawesi yang akrab menganut tradisi setempat. Oleh alasannya adalah itu, kesuksesan ketiganya dianggap hebat.





– Masa Pemerintahan Kolonial Belanda





Pada pertengahan kala ke-17, VOC masuk ke Sulawesi Selatan. Kedatangan mereka menerima perlawanan dari Kerajaan Gowa. Pertempurn pun tak mampu dielakkan dan terjadi dalam berulang kali.





Pertempuran yang dipimpin La Tenri Tatta Daeng Serang Arung Palakka didukung oleh Turtea yang berasal dari kerajaan kecil Makassar. Kerajaan Makassar sebelumnya yakni pemberontak dari Gowa. Namun sebab kedatangan VOC, mereka lalu bersatu.





Akan tetapi mereka kalah dalam peperangan ini, sehingga mengakibatkan banyak korban di pihak Gowa dan sekutunya. Akibatnya, mereka mesti menandatangani Perjanjian Bongaya yang isinya sungguh merugikan Kerajaan Gowa.





Setelah kekalahan ini, tidak ada lagi perlawanan berarti kepada Belanda. Hingga akibatnya pada tahun 1905 – 1906 terjadi perlawanan terhadap Belanda oleh Sultan Husain Karaeng Lembang Parang dan La Pawawol Karaeng Segeri Arumpone.





Namun, lagi-lagi perlawanan ini sukses dipadamkan Belanda. Setelah itu penduduk Bugis dan Makassar sungguh-sungguh ditaklukkan oleh Belanda. Kerajaan-kerajaan tidak lagi berdaulat, mereka tetap ada cuma sebagai perpanjangan tangan dari kekuasaan kolonial Belanda.





Mata Pencaharian Orang Bugis





Suku Bugis tersebar di tempat dataran rendah dan pesisir. Dataran rendah yang mereka tinggali tergolong daerah yang sangat subur, sehingga sebagian besar masyarakat Bugis melakukan pekerjaan sebagai petani. Sedangkan orang Bugis yang menentukan berdomisili di kawasan pesisir bekerja selaku nelayan.





Selain kedua pekerjaan tersebut, orang Bugis juga banyak yang menjadi pedagang. Sebagian dari mereka juga bekerja di pemerintahan dan beberapa bidang pendidikan.





Namun ada pekerjaan lain yang sifatnya negatif dan sempat dilaksanakan oleh sebagian kecil kalangan di masyarakat Bugis. Setelah Perjanjian Bongaya dengan pihak kolonial Belanda, orang Bugis otomatis menjadi sekutu Belanda yang pusatnya berada di Batavia.





Orang Bugis saat itu dapat bergerak bebas dan terlindungi oleh Belanda. Namun beberapa kalangan menyalahgunakan keutamaan ini. Mereka justru menjadi perompak dan mengusik jalur perniagaan bagian timur. Bahkan para perompak ini menjelajah ke seluruh kepulauan Indonesia.





Selain itu, sebagian orang Bugis juga ada yang melakukan pekerjaan selaku tentara bayaran. Masyarakat Bugis diketahui loyal terhadap persahabatan. Mereka juga memiliki tradisi merantau yang sangat berpengaruh. Setelah menjadi sekutu Belanda, mereka menjadi tentara bayaran bagi Belanda dan banyak membantu Belanda.





Salah satu misi yang mendapat dukungan besar dari tentara bayaran Bugis adalah pengejaran Trunojoyo di Jawa Timur. Para prajurit bayaran ini juga menolong Belanda dalam Perang Paderi, penaklukan pedalaman Minangkabau, dan bahkan menolong orang Eropa saat melawan Ayuthaya di Thailand.





Kesenian Suku Bugis





Suku Bugis mempunyai kesenian yang cukup kaya dan beragam. Terutama kesenian yang menonjol adalah seni tari dan seni musik. Di seni tari, ada tari Paduppa Bosara untuk menyambut tamu.





budaya bugis




Tarian ini dikerjakan selaku bentuk penghargaan dan rasa terima kasih pada para tamu atas kedatangan mereka. Ada juga tari Pakarena yang berarti main. Pakarena awalnya cuma ditarikan di kerajaan dan ialah pencerminan sifat lemah lembut dan adab seorang perempuan.





Tari Ma’badong adalah tarian yang ditampilkan saat upacara kematian. Para penari akan mengenakan pakaian berwarna hitam dan mengaitkan jari kelingking mereka sambil membentuk lingkaran.





Ada pula tari Pa’gellu untuk menyambut seseong yang baru pulang dari berperang. Sementara itu tari Kipas ditarikan dengan gerakan lemah lembut, walau diiringi musik yang bertempo cepat.





Bahasa Bugis





Suku Bugis zaman dulu menggunakan dua cara berkomuniaksi, adalah secara lisan dengan bahasa Bugis serta lewat goresan pena memakai huruf Lontara. Bahasa Bugis berisikan aneka macam dialeg, seperti Dialek Bone, Dialek Pangkep, Dialek Makassar, Dialek Pare-Pare, Dialek Wajo, Dialek Sidenreng Rappang, Dialek Sopeng, Dialek Sinjai, Dialek Pinrang, Dialek Malimpung, Dialek Dentong, Dialek Pattinjo, Dialek Kaluppang, Dialek Maiwa, Dialek Maroangin, Dialek Wani, Dialek Bugis Kayowa, Dialek Buol Pamoyagon (Bugis Pomayagon), Dialek Buol Bokat (Bugis Bokat), Dialek Jambi, Dialek Kalimantan Selatan, Dialek Lampung, Dialek Sulawesi Tenggara, Dialek Bali, Dialek Sulawesi Tengah, Dialek Riau dan Dialek Kalimantan Timur.





Sedangkan secara tertulis, orang bugis terdahulu memakai aksara lontara. Akasa lontara ialah manuskrip yang ditulis dengan alat tajam pada daun lontar lalu ditambah cairan hitam pada bekas goresannya.


Belum ada Komentar untuk "Suku Bugis – Asal, Sejarah, Perkembangan, Budaya, Bahasa & Kesenian"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel